Minggu, 17 Maret 2013

Perpustakaan Untuk Rakyat



Perpustakaan Untuk Rakyat
Sering kali masyarakat bingung, membedakan antara perpustakaan untuk rakyat dan taman bacaan masyarakat. Umumnya masyarakat sudah tahu apa itu perpustakaan, tapi jika ditambah dengan kata “rakyat”, nah mungkin masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya..apa sih yang membedakan antara keduanya ? bukannya sama-sama perpustakaan juga ? yang isinya buku-buku ??
Dalam kuliah umum Senin, 11 Januari 2013 dengan narasumber pak Blasius Sudarsono, bu Afia Rosdiana dan mbak Ratih akan memberi pencerahan tentang kedua hal tersebut.
Menurut bu Afia, yang membedakan antara perpustakaan rakyat dan taman bacaan masyarakat adalah badan yang menaungi kedua tempat tersebut. Untuk TBM, itu didirikan dan dikembangkan oleh Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk perpustakaan rakyat sendiri dikelola oleh badan-badan dibawah Depdiknas, seperti : Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah.
Akan tetapi, meskipun demikian keduanya mempunyai ruh yang sama, yaitu sama-sama menyediakan ruang bagi masyarakat yang gemar membaca maupun masyarakat yang buta aksara untuk bisa membaca. Beliau sangat terkesan dengan taman bacaan masyarakat (TBM) yang ada di Yogyakarta. Menurutnya, TBM yang ada di yogyakarta sangat maju bahkan di yogyakarta saja ada sekitar 234 TBM. Salah satunya ialah mata aksara dan cakruk pintar.
Meskipun banyak TBM yang ada di yogyakarta, namun untuk pengembangannya dari 234 TBM sekitar 30% tidak jelas antara hidup atau mati. Kebanyakan dari TBM tidak bertahan lama, hal ini salah satunya karena minat masyarakat untuk membaca yang tidak stabil sehingga terkadang bisa tinggi, bisa rendah atau bahkan bisa tidak ada sama sekali.
Sedangkan, perpustakaan menurut pak Blasius itu seperti supermarket, yang ketika ada pengunjung yang  datang akan dilayani oleh pramuniaga supermarket tersebut sama seperti halnya di perpustakaan, yang ketika ada pengunjung yang datang juga akan dilayani oleh pustakawan. Namun, pustakawan yang melayani bukan petugas yang ada di depan lobi melainkan orang-orang yang ada di belakang yang disebut pustakawan. Mereka melayani masyarakat dengan cara memberikan bacaan-bacaan yang di butuhkan oleh masyarakat yang sebelumnya sudah dilakukan penyaringan dari sekian banyak jumlah buku dengan judul yang sama yang beredar dipasaran dan pustakawan akan menyajikan buku yang benar-benar berbobot baik dari segi isi maupun penulisnya.
Menyinggung tentang TBM, menurut beliau bahwa bangsa Indonesia mempunyai dasar negara yaitu UUD 1945 yang di dalamnya terdapat pembukaan UUD yang mempunyai 4 tujuan pokok salah duanya yang berkaitan dengan perpustakaan ialah untuk mensejahterakan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari tujuan inilah asal mula dari pembuatan TBM. Jadi TBM menurut pak Blasius adalah perantara dari sebuah tujuan akhir yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Menyinggung tentang TBM kurang lengkap jika tidak menyinggung tentang kepustakawanan , menurut beliau pustakawan itu ialah sebuah panggilan, spirit hidup dan karya pelayanan yang dilakukan secara profesional. Namun, untuk menjadi profesional sendiri harus mempunyai kemampuan dan kemauan. Kemampuan tersebut diantaranya adalah :
·      Pustakawan harus bisa diajak berpikir kritis
·      Mampu membaca dunia
·      Menulis
·      Etika
Mengapa menulis juga ada ? padahal tidak semua pustakawan bisa menulis. Hal ini karena menulis merupakan salah satu bentuk rasa syukur, sehingga kita dapat mendokumentasikan berbagai macam kegiatan yang telah kita lakukan melalui tulisan-tulisan yang kita tulis sehingga kita dapat berbagi pengalaman dengan orang lain. Selain itu etika juga harus diajarkan, karena semakin banyaknya pribadi-pribadi yang menyalahgunakan kemudahan dalam mendapatkan informasi. Dalam hal ini contohnya adalah internet. Hal ini mengharuskan pustakawan untuk dapat berpikir secara cerdas.
Namun, jika banyak anggapan masyarakat bahwa perpustakaan merupakan tempat buangan, seperti kasusnya Gubernur DKI Jakarta yang memutasikan Walikota Jakarta Selatan, Anas Effendi dan sekertaris daerah Kulon Progo, Budi Wibowo yang keduanya di mutasikan menjadi kepala di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Hal ini tergantung oleh masing-masing anggapan dari masyarakat itu sendiri karena masyarakat sendiri yang bisa menilai sisi-sisi positif maupun negatif di balik kebijakan tersebut.
Berbeda kasus ketika seorang yang memang dari lulusan jurusan ilmu perpustakaan, namun tidak bekerja di perpustakaan melainkan di luar jurusan itu sendiri. Hal itu tidak menjadi masalah ketika seorang pustakawan “murtad” dari pendidikan yang sudah ditempuh. Hal ini karena pustakawan telah dibekali dengan soft skill dan hard skill sehingga yang diperlukan disini, bagaimana caranya agar pustakawan yang bekerja di perusahaan tetap mempunyai jiwa pustakawan sehingga dimanapun berada seorang pustakawan mampu mengajak orang lain untuk gemar membaca sekalipun tidak di perpustakaan.