Perpustakaan
Untuk Rakyat
Sering kali masyarakat bingung, membedakan
antara perpustakaan untuk rakyat dan taman bacaan masyarakat. Umumnya
masyarakat sudah tahu apa itu perpustakaan, tapi jika ditambah dengan kata
“rakyat”, nah mungkin masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya..apa sih
yang membedakan antara keduanya ? bukannya sama-sama perpustakaan juga ? yang
isinya buku-buku ??
Dalam kuliah umum Senin, 11 Januari 2013 dengan
narasumber pak Blasius Sudarsono, bu Afia Rosdiana dan mbak Ratih akan memberi
pencerahan tentang kedua hal tersebut.
Menurut bu Afia, yang membedakan
antara perpustakaan rakyat dan taman bacaan masyarakat adalah badan yang
menaungi kedua tempat tersebut. Untuk TBM, itu didirikan dan dikembangkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan untuk perpustakaan rakyat sendiri
dikelola oleh badan-badan dibawah Depdiknas, seperti : Badan Perpustakaan dan
Arsip Daerah.
Akan tetapi, meskipun demikian keduanya mempunyai ruh
yang sama, yaitu sama-sama menyediakan ruang bagi masyarakat yang gemar membaca
maupun masyarakat yang buta aksara untuk bisa membaca. Beliau sangat terkesan
dengan taman bacaan masyarakat (TBM) yang ada di Yogyakarta. Menurutnya, TBM
yang ada di yogyakarta sangat maju bahkan di yogyakarta saja ada sekitar 234
TBM. Salah satunya ialah mata aksara dan cakruk pintar.
Meskipun banyak TBM yang ada di yogyakarta, namun untuk
pengembangannya dari 234 TBM sekitar 30% tidak jelas antara hidup atau mati.
Kebanyakan dari TBM tidak bertahan lama, hal ini salah satunya karena minat
masyarakat untuk membaca yang tidak stabil sehingga terkadang bisa tinggi, bisa
rendah atau bahkan bisa tidak ada sama sekali.
Sedangkan, perpustakaan
menurut pak Blasius itu seperti supermarket, yang ketika ada pengunjung yang datang akan dilayani oleh pramuniaga
supermarket tersebut sama seperti halnya di perpustakaan, yang ketika ada
pengunjung yang datang juga akan dilayani oleh pustakawan. Namun, pustakawan
yang melayani bukan petugas yang ada di depan lobi melainkan orang-orang yang
ada di belakang yang disebut pustakawan. Mereka melayani masyarakat dengan cara
memberikan bacaan-bacaan yang di butuhkan oleh masyarakat yang sebelumnya sudah
dilakukan penyaringan dari sekian banyak jumlah buku dengan judul yang sama
yang beredar dipasaran dan pustakawan akan menyajikan buku yang benar-benar
berbobot baik dari segi isi maupun penulisnya.
Menyinggung
tentang TBM, menurut beliau bahwa bangsa Indonesia mempunyai dasar negara yaitu
UUD 1945 yang di dalamnya terdapat pembukaan UUD yang mempunyai 4 tujuan pokok
salah duanya yang berkaitan dengan perpustakaan ialah untuk mensejahterakan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari tujuan inilah asal mula dari
pembuatan TBM. Jadi TBM menurut pak Blasius adalah perantara dari sebuah tujuan
akhir yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Menyinggung tentang TBM kurang
lengkap jika tidak menyinggung tentang kepustakawanan , menurut beliau pustakawan
itu ialah sebuah panggilan, spirit hidup dan karya pelayanan yang dilakukan
secara profesional. Namun, untuk menjadi profesional sendiri harus mempunyai
kemampuan dan kemauan. Kemampuan tersebut diantaranya adalah :
·
Pustakawan harus bisa diajak berpikir kritis
·
Mampu membaca dunia
·
Menulis
·
Etika
Mengapa
menulis juga ada ? padahal tidak semua pustakawan bisa menulis. Hal ini karena
menulis merupakan salah satu bentuk rasa syukur, sehingga kita dapat
mendokumentasikan berbagai macam kegiatan yang telah kita lakukan melalui
tulisan-tulisan yang kita tulis sehingga kita dapat berbagi pengalaman dengan
orang lain. Selain itu etika juga harus diajarkan, karena semakin banyaknya
pribadi-pribadi yang menyalahgunakan kemudahan dalam mendapatkan informasi.
Dalam hal ini contohnya adalah internet. Hal ini mengharuskan pustakawan untuk
dapat berpikir secara cerdas.
Namun, jika banyak
anggapan masyarakat bahwa perpustakaan merupakan tempat buangan, seperti
kasusnya Gubernur DKI Jakarta yang memutasikan Walikota Jakarta Selatan, Anas
Effendi dan sekertaris daerah Kulon Progo, Budi Wibowo yang keduanya di
mutasikan menjadi kepala di Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah. Hal ini
tergantung oleh masing-masing anggapan dari masyarakat itu sendiri karena
masyarakat sendiri yang bisa menilai sisi-sisi positif maupun negatif di balik
kebijakan tersebut.
Berbeda
kasus ketika seorang yang memang dari lulusan jurusan ilmu perpustakaan, namun
tidak bekerja di perpustakaan melainkan di luar jurusan itu sendiri. Hal itu
tidak menjadi masalah ketika seorang pustakawan “murtad” dari pendidikan yang sudah ditempuh. Hal ini karena
pustakawan telah dibekali dengan soft
skill dan hard skill sehingga
yang diperlukan disini, bagaimana caranya agar pustakawan yang bekerja di
perusahaan tetap mempunyai jiwa pustakawan sehingga dimanapun berada seorang
pustakawan mampu mengajak orang lain untuk gemar membaca sekalipun tidak di
perpustakaan.